pendekatan soiologi

KATA PENGANTAR


Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas selesainya makalah dengan judul “ Pendekatan Sosiologi dalam Apresiasi Prosa Fiksi” ini dengan baik.
Sholawat dan salam selalu terarah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang merupakan tongkat penegak islam hingga akhir zaman.
Makalah ini tidak akan selesai tanpa uluran tangan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Namun, perlu disadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, akhirnya semoga bermanfaat untuk kita semua Amin.


Hormat kami,
Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya. Berangkat dari uraian tersebut, dalam tulisan ini akan diuraian pengertian Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan dalam Menganalisis Karya Sastra
  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1.      Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2.      Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3.      Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4.      Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5.      Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1.      Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112)
2.      Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3.      Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
1.      Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2.      Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3.      Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1.      Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2.      Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3.      Audien atau pembaca (1981: 178).
Lain halnya dengan Grebsten (dalam Damono, 1989) dalam bukunya mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut.
1.      Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
2.      Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh.
3.      Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah eksprimen moral.
4.      Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
5.      Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar.
6.      Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.
Lanjut Damono (1989: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984- 220) mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1.      Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.
2.      Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3.      Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4.      Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5.      Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Perkembangan sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan (Abrams, 1981: 178). Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Taine, meneruskan bahwa sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi-interpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan.
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian Eagleton (1983), mengemukakan bahwa sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi lingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi ( merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi ( sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, (d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.


2.2 Prosedur Kerja Pendekatan Sosiologi Dan Penerapannya Pada Novel Dan Puisi

Perkembangan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang memprtimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial).
Pengkajian sastra dapat memahami dan menelaah karya sastra dari sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi pembaca.
·        Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112)
·        Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
·        Sosiologi pembaca sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.


Melalui sosiologi pengarang misalnya akan dikaji novel Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dengan hubungan dengan latar sosial pengarang yang berasal dari Blora sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tetapi secara politik tidak tergolong sayap kiri. Gelar bangsawan “Mas” ia coret dari namanya, hingga Pram kecil bertahun-tahun kemudian masih melihat coretan di awal papan nama di rumah orang tuanya. Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial adalah pengkajian novel Bumi Manusia dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Novel tersebut dipahami dalam hubungannya dengan masalah latar cerita hukum Belanda dan hubungan antara pribumi dan orang Belanda yang memiliki hubungan bersekat antara tuan kelas atas dan kaum rendahan. Sejarah mencatat kaum pribumi berada pada bawah. bahkan dibawah Cina secara hubungan hirarki dalam sejarah kekuasaan Belanda.
Novel ini membuat pembaca mengerti hubungan Nyai yang bukanlah seorang Meufrow atau nyonya. Hukum belanda yang tak berpihak kaum pribumi. Sampai posisi kaum terdidik yang tetap tak sama dengan kamu terdidik dari keturunan Belanda. Cerita ini menggambarkan keadaan struktur sosial, ekonomi dan budaya pada jamannya. setiap manusia menempati posisinnya masing-masing. Sebagai bukti struktur sosial berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya, penerapan sosiologi pembaca Bumi Manusia sebagai karya sastra yang tergolong banyak dibaca dan ditanggapi masyarakat. Walaupun motivasi para pembaca dalam membaca novel tersebut mungkin bermacam-macam, misalnya ada yang menganggapnya sebagai hiburan belaka.
Ada yang tertarik karena ceritanya tentang kehidupan seorang nyai yang kuat, prinsif, dan objektif. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada teman-temannya.Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.
Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.


2.2.1. Analisis Novel Kappa Dengan Pendekatan Sosiologi

1. Sosiologi Pengarang
 Melalui sosiologi pengarang misalnya akan dikaji novel Kappa karya Ryonosuke Akutagawa ( 1892-1927) dengan hubungan  latar sosial pengarang yang  mengarang lebih dari 100 cerpen. Ryunosuke disebut sebagai pengarang yang karyanya paling banyak dibaca pada zamannya. Ia meraih gelar sastra Inggris dari Tokyo Imperial University . Karya-karyanya telah diterjemahkan oleh Anatole France dan W.B Yeats. Ia termasuk penulis Jepang yang suka menyendiri , karena ia dianggap eksenrtik oleh mereka yang sezaman. Munculnya novel ini tidak lain adalah gambaran nyata dari kehidupan pengarang yang dijelmakan dalam sosok Kappa.Dalam novel ini, ada salah satu tokoh yaitu penyair Tok yang tidak lain adalah sosok asli dari Ryonosuke Akutagawa yang pada akhirnya memilih untuk bunuh diri sebelum akhir 1926 yang disebabkan oleh pikiran-pikiran untuk bunuh diri yang telah ada dalam kepalanya, namun baru pada musim panas tahun berikutnya ia melakukannya. Pada halaman 85 dari novel tersebut diceritakan tentang penyair Tok yang bunuh diri. Dalam bunuh diri tersebut, penyair Tok meninggalkan sebuah puisi yang merupakan sebuah wasiat. Isi puisi tersebut adalah:
Mari, kita bangkit dan pergi.
Menuju lembah yang memisahkan dunia yang fana ini
Di mana dinding-dinding batunya dingin
Di mana sungai-sungai gunung masih murni
Di mana bunga-bambu masih harum mewangi.

2. Sosiologi Karya

 Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial pada novel Kappa adalah dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat Jepang. Pada intinya, novel ini bercerita tentang realitas kehidupan si pengarang yang menyoroti tentang kegilaan ibunya, sensor atas seni, hubungan lelaki dan perempuan, agama, dan modernisme.
            Tentang kegilaan ibunya, Ryunosuke mengemas ide yang dituangkan dalam novel kappa ini semata-mata karena keadaan diri Ryunonosuke yang di ambil hak asuhnya oleh bibinya karena ketidakmampuan ibunya mengurusnya disebabkan karena depresi yang melandanya. Fenomena ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa ibunya pernah menggambar tentang anak-anaknya, tetapi ironisnya, kepala anak-anaknya diganti dengan serigala. Keadaan ini memberikan tekanan kepada Ryunosuke. Dalam novel itu diperlihatkan bahwa telah terpasang spanduk di jalan-jalan yang bertuliskan bahwa para pasukan kappa yang gagah perkasa dan kuat-kuat hendaklah mengawini kappa betina yang lemah dan cacat untuk membunuh keturunan yang jelek. Ini semata-mata adalah sindiran yang di tujukan kepada seluruh warga di negeri Sakura bahwa memang manusia yang memiliki kekurangan seolah tak diharapkan dan harus di basmi karena dianggap akan memberikan keturunan yang jelek bagi warga di negeri bunga Sakura ini. Sensor lain dari kehidupan Ryunosuke yang tersirat dalam goresan tinta di lembar novel kappa ialah ketika Bag harus bertanya kepada anaknya apakah ia mau dilahirkan atau tidak, tetapi anak Bag justru tidak mau dilahirkan karena dia tidak mau menuruni kegilaan orang tuanya dan bahwa eksistensi kappa dianggap sebagai suatu kejahatan.
Sensor atas Seni
Lepas dari itu, Akutagawa banyak memberikan sentilan kepada kehidupan para seniman Jepang. Di negeri matahari terbit ini, dijelmakan dalam dunia kappa bahwa seni tidak dibiarkan berkembang secara bebas, bahkan seni dianggap sebagai larangan. Jiplakan ini disoroti dalam kisah ketika penyair Tok, Krabach sang seniman memainkan musik dalam suatu pentas seni. Yang terjadi di tengah maraknya pementasan seni kappa adalah munculnya polisi kappa secara tiba-tiba yang mengharuskan agar pementasan seni di hentikan. Beginilah sudut pandang Akutagawa dalam menilai tanggapan pemerintah atau aparat terhadap seni.
Hubungan Laki-laki dan Perempuan
Cara bercinta negeri Sakura ini juga digambarakan dalam Kappa. Ini terjadi karena ketidakseimbangan kuantitas laki-laki dan perempuan. Untuk itu, perlu sekali diadakan pelestarian keturunan untuk menutupi angka kekurangan yang muncul dalam kategori gender.Hal ini diperlihatkan dalam fenomena betapa menyedihkan melihat kappa betina yang mengejar kappa jantan selama berbulan-bulan. Kappa jantan akan bersembunyi atau menghindar dari incaran kappa betina.
Sensor terhadap Agama
            Tak hanya itu yang menjadi santapan Akutagawa yang akan diberitakannya lewat jembatan kappa, tetapi agama pun tak luput dari incarannya. Ini adalah pengantar menuju suatu pemikiran baru tentang agama kappa.Dia kemudian bertemu dengan kappa tua di sebuah kuil yang begitu indah dan menjulang tinggi. Hal ini menimbulkan hasratnya untuk mengetahui tentang seluk- beluk agama kappa. Melalui kappa akan di sajikan peran agama di negeri Sakura ini. Fenomena tentang agama yang digambarkan dalam dunia kappa terlukis bahwa seorang pemuda yang terdampar di negeri kappa tiba-tiba mempertanyakan tentang agama kappa. Dalam nuansa satire ini Akutagawa ingin memberikan sindiran tentang eksistensi agama di Jepang. Jepang adalah negara sekuler, yang berarti negara tidak ikut campur masalah agama. Dalam setiap data pemerintahan atau surat-surat resmi lainnya tentang identitas penduduk, masalah agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan .Agama adalah suatu kebebasan. Hal ini ditujukkan dengan bangunan kuil yang kebanyakan terbuka hampir tanpa pintu. Siapapun bisa datang dengan bebas untuk datang tanpa pernah membedakan agama apapun dan juga tidak akan pernah ditanyakan dengan pertanyaan apapun tentang agama. Hampir tidak ada basa-basi apapun yang perlu dilakukan agar bisa memasuki kuil dengan aman. Berkunjung ke kuil juga tidak dibatasi hanya untuk berdoa atau sembahyang saja, tetapi juga bisa dilakukan hanya untuk tujuan rekreasi atau sekedar kunjungan wisata saja. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kebanyakan orang Jepang merasa nyaman kalau memilih tidak beragama, suatu kebebasan yang sepertinya tidak mungkin bisa didapatkan kalau harus memeluk suatu agama tertentu.
3. Sosiologi Pembaca
               Munculnya novel Kappa ini menimbulkan banyak komentar di kalangan pembaca. Banyak pembaca yang beranggapan bahwa novel-novel karangan Ryunosuke adalah novel yang bernuansa satire dan kelam.
               Banyak kritikus dengan jelas tidak mengetahui apa yang melatarbelakangi tulisan ini. Seorang kritikus menganggapnya sebagai cerita anak, yang lainnya menganggap sebagai karya sosialis. Hanya seorang kritukus,Yoshida Taiji yang muncul dan memahami bahwa ini adalah distilasi perasaan penulis tentang reaksi atas keseluruhan kehidupan manusia, dan baginya Ryunosuke menulis Kappa dalam rasa syukur dan munculnya Kappa sebagai akibat rasa jijik pengarang terhadap banyak hal, khususnya terhadap dirinya sendiri ( Chikuma Shobo 8,90)

KITA MASUKI PASAR RIBA
Oleh :
Emha Ainun Najib

 
Kita pasar riba
 Medan perang keserakahan
 Seperti  ikan dalam air tenggelam
 Tak bisa ambil jarak
 Tak tahu langit
 Ke kiri dosa ke kanan dusta
 Bernapas air
 Makan minum air
 Darah riba mengalir
 Kita masuki pasar riba
 Menjual diri dan Tuhan
 Untuk membeli hidup yang picisan
 Telanjur jadi uang recehan
 Dari putaran riba politik dan ekonomi
   Sistem yang membunuh sebelum mati
   Siapakah kita ?
   Wajah  tak menentu jenisnya
   Tiap saat berganti nama
   Tegantung kepentingannya apa
   Tergantung rugi atu laba
   Kita pilih kepada siapa tertawa
       1987
 
 
2.2.2 Analisis Puisi “ Kita Memasuki Pasar Riba “ Dengan Pendekatan Sosiologi
1. Sosiologi Pengarang
Dari sosiologi pengarang dapat kita lihat bahwa Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang, 27 Mei 1953, anak ke-4 dari 15 bersaudara,pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sebelum itu 'diusir' dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena 'demo' melawan Dept. Keamanan pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindak ke Yogya dan lumayan bisa tamat SMA Muhammadiyah I.
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha.Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan reportoar serta pementasan drama. Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan multi-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi, yang berintikan upaya penumbuhan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan di sejumlah kota, ia juga diminta berkeliling ke berbagai wilayah seluruh nusantara, rata-rata 10-15 kali perbulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan ia sendiri rata-rata 40-50 acara yang massa yang umumnya outdoor, dengan berbagai strata dan segmen masyarakat. Mengumpulkan semua golongan, aliran, kelompok, agama, berdasar kegembiraan menikmati kebersamaan kemanusiaan.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi problem masyarakat.

2. Sosiologi Karya

Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial pada puisi kita memasuki pasar riba adalah bahwa puisi itu menceritakan gambaran kehidupan masyarakat menurut sudut pandang nadjib.dalam puisi itu diceritakan tentang kehidupan masyarakat yang tujuannya hanyalah mencari keuntungan, meskipun berada di tanah air sendiri, tetapi kita yang sebagai rakyat jelata seperti tenggelam dan tersisih dari negeri sendiri. Hai ini dapat kita lihat pada kutipan sebagai berikut:
 Kita pasar riba
 Medan perang keserakahan
 Seperti  ikan dalam air tenggelam
 Tak bisa ambil jarak
  Tak tahu langit
  Ke kiri dosa ke kanan dusta
Selain itu, dalam puisi ini juga menceritakan tentang kehidupan masyarakat khususnya nasib yang dialami rakyat kecil yang hidup di tengah masyarakat yang tercekik dengan aturan dan kekuasaan penguasa, seakan-akan seperti bernapas dengan air. Dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
 Bernapas air
 Makan minum air
 Darah riba mengalir
Kutipan selanjutnya menjelaskan bahwa ini adalah suratan takdir yang sudah ditentukan Tuhan dan kita menjadi korban politik dan ekonomi. Dapat disimak dalam kutipan sebagai berikut:
 Kita masuki pasar riba
 Menjual diri dan Tuhan
 Untuk membeli hidup yang picisan
 Telanjur jadi uang recehan
 Dari putaran riba politik dan ekonomi
 Sistem yang membunuh sebelum mati
 Di sini juga dijelaskan bahwa semua orang mencari keuntungan melalui politik dan ekonomi. Siapa yang kuat maka dia yang berkuasa. Berbagai etnis, ras, dan golongan yang hidup di masyarakat yang setiap hari bias berubah status dan kedudukan tergantung kekuasaan.terlihat dalam kutipan sebagai berikut:
 Siapakah kita ?
Wajah  tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tapi itu tergatung apakah orang tersebut beruntung atau rugi, baik dalam politik maupun ekonomi. Hal itu terjadi tergantung kepada siapa kita berpihak. Dapat dilihat dalm kutipan berikut ini:
   Tegantung kepentingannya apa
   Tergantung rugi atu laba
   Kita pilih kepada siapa tertawa
3. Sosiologi Pembaca
Sebuah karya juga sangat dipengaruhi oleh sosiologi pembaca. Misalnya. orang yang anti pemerintah tentu akan mengkritik karya-karya yag bernuansa pro pemerintah. Demikian juga sebaliknya.
Pada puisi kita masuki pasar riba, ketika di baca oleh orang yang anti pemerintah tentu menganggap puisi ini sebagai alat untuk mengkritik pemerintah, tetapi apabila yang membacanya adalah orag yang pro pemerintah, maka puisi ini dianggap sebagai sebuah kecaman.





1 komentar:

  1. YUK !!!!! buruan gabung dan menang kan total hadiah ratusan juta rupiah setiap hari nya hanya di s1288poker agent poker terpecaya .... cuma di sini tempat nya kamu bisa menunjukan kehebatan kamu dalam bermain poker yukkkk daftar kan diri anda sekarang juga
    terdapat 7 game dalam 1 user id anda loh.... WA : 081910053031

    BalasHapus