Puisi Kontemporer

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Puisi kontemporer adalah puisi yang lepas dari aturan-aturan pokok penulisan puisi. puisi kontemporer kebanyakan mengungkapkan hal-hal atau topik yang memasyarakat dengan bebas, terbuka, dan tidak "muluk-muluk" seperti pada penulisan puisi konvensional yang sarat akan aturan-aturan penulisan puisi. Dan pendapa lain mengenai puisi kontemporer, yaitu jenis sastra yang aneh, yang lugu, yang nakal, anti tema, nati plot, anti logika dan lain sebaginya.
Permasalahan dalam hubungan ini keadan berfikir yang cepat para penikmat puisi bahwa puisi kontemporer adalah puisi yang tidak memiliki nilai estetika atau nilai kesnian. Sehingga akhir-akhir ini puisi ontemporer sering dijadikan kambing hitam dalam dunia bahasa sebagai media penyampain pesan.
Salah satu ragam puisi kontemporer adalah pusi tanpak kata, yaitu puisi yang sama sekali tidak menggunakan kata sebagai alat ekspresinya. Sebagai gantinya di gunakan titik-titik, garis, huruf, atau simbol-simbol lain. Puisi ini tidak memperhatikan kata sebgai alat penyamapain pesan, oleh karena itu puisi ini lebih rumit dalam memahami pesan yag disampaikan oleh pengarang. Sehingga para penikmat puisi yang belum mengenal puisi ini lebih mengecapnya dengan puisi yang aneh dan tidak memilki nilai kesenian.
Dengan adanya makalah ini, mampu memberikan wawasan keapada pembaca mengenai puisi tanpak kata yang memiliki niali keindahan menggunkan simbol-simbol bahasa.


1.2     Rumusan masalah

Sesuai dengan pokok permasalahan tema yang diangkat  penulis, mengenai puisi tanpak kata sebagai karya sastara yang memilki nilai keindahan, maka permasalahan seputar itu dapat dijabarkan sebagai rumusan masalah sebagai berikut,

1.    apa yang dimaksud dengan puisi tanpak kata
2.    bagaimana puisi tanpak kata dapat memiki nilai kesenian.

1.3    Tujuan

Tujuan dari makalah ini yakni untuk memberikan gambaran kepada pembaca menganai seluk-beluk puisi tanpak kata. Dan meluruskan padangan pembaca selama ini yang beraanggapan bahwa puisi kontemporer itu tidak memilki nilai kesenian karena tidak menggunakan unsure-unsur yang membentuk sebuah puisi.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Sekilas Puisi Kontemporer
Puisi kontemporer adalah puisi yang lepas dari aturan-aturan pokok penulisan puisi. puisi kontemporer kebanyakan mengungkapkan hal-hal atau topik yang memasyarakat dengan bebas, terbuka, dan tidak "muluk-muluk" seperti pada penulisan puisi konvensional yang sarat akan aturan-aturan penulisan puisi.
Puisi kontemporer muncul sekitar tahun 1980-an. Sedangkan pemrakarsanya yang terkenal antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Yatman, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.M., Ibrahim Sattah dan Hamid Jabbar. Para perilis puisi kontemporer tersebut beranggapan bahwa puisi konvensional tersebut "ribet" dengan segala aturan-aturannya. Puisi kontemporer memang terkesan bebas, struktus penulisannya terkesan "seenaknya" dan tidak aturan. Tapi seperti kata pepatah "Don't you look book from the cover", puisi kontemporer tetap mengandung pesan-pesan moral yang justru memiliki "nilai lebih" karena tema yang diangkat adalah tema tentang kehidupan dan kejadian di dalam masyarakat.
Di era kejayaannya, para seniman puisi kontemporer telah menghasilakan karya-karya yang tidak dapat dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya dan para pecinta puisi pada khususnya. seperti, JADI (Sutardji Calzoum B.), Duka (Ibrahim Sattah), Communication GAP (Remi Sylado), dan masih banyak lagi lainnya. Namun, karya yang paling melegendaris dan sensasional adalah "Puisi Mbeling".
Tidak seperti "Tong Kosong Yang Berbunyi Nyaring", puisi kontemporer dibuat bukan untuk mencari sensasi atau ingin sekedar tampil beda belaka. Tapi memiliki maksud-maksud yang antara lain adalah mendobrak cara penulisan puisi konvensional serta menyampaikan kritik yang dimaksudkan untuk mengajak pembaca melakukan refleksi yang ending-nya pembaca melakukan perbaikan.
2.2    Ragam  puisi kontemporer
Adapun puisi kontemporer bisa dibedakan menjadi beberapa ragam sebagai berikut:
1.    Puisi Tanpa Kata, yaitu puisi yang sama sekali tidak menggunakan kata sebagai alat ekspresinya. Sebagai gantinya di gunakan titik-titik, garis, huruf, atau simbol-simbol lain.
2.    Puisi Mini Kata, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata dalam jumlah yang sangat sedikit, dilengkapi dengan symbol lain yang berupa huruf, garis, titik, atau tanda baca lain.
3.    Puisi Multi Lingual, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata atau kalimat dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing.
4.    Puisi Tipografi, yaitu puisi kontemporer yang memandang bentuk atau wujud fisik puisi mampu memperkuat ekspresi puisi. Bahkan wujud fisik puisi dipandangg sebagai salahh satu unsure puisi, sebagai suatu tanda yang memiliki makna tertentu, yang tidak terlepas dari keseluruhan makna puisi.
5.    Puisi Supra Kata, yaitu puisi kontemporer yang menggunakan kata-kata konvensional yang dijungkir-balikkan atau penciptaan kata-kata baru yang belum pernah ada dalam kosakata bahasa Indonesia. Puisi macam ini lebih mementingkan aspek bunyi dan ritme, sehingga merangsang timbulnya suasana magis (cenderung sebagai puisi mantra).
6.    Puisi Idiom Baru. Puisi ini dibedakan dengan puisi konvensional terutama oleh penggunaan idiom-idiom baru yang terdapat didalamnya. Puisi idiom baru tetap menggunakan kata sebagai alat ekspresinya, tetapi kata tersebut dibentuk dan diungkapkan dengan cara baru, diberi nyawa baru. Digunakan idiom-idiom baru yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
7.    Puisi Mbeling. Puisi ini pada umumnya mengandung unsur humor, bercorak kelakar. Dalam puisi ini sering terdapat unsure kritik, terutama kritik sosial. Puisi mbeling tidak meng’haram’kan penggunaan suatu kata. Semua kata mempunyai hak yang sama dalam penulisan puisi ini.
2.3    Tentang puisi tanpak kata
Seprti telah dijelskan di atas puisi tanpak kata adalah puisi yang sama sekali tidak menggunakan kata sebagai alat ekspresinya. Sebagai gantinya di gunakan titik-titik, garis, huruf, atau simbol-simbol lain.
Pendapat lain mengenai puisi, hanya rasanya tidak dapt dibantah oleh sipa pun adalah adnya kenyatana bahwa benda memilki cirri-ciri yang hakiki, yang membedakannya dari benda-benda lain. Katakana;ah mempunyaikeperibadian. Manusia mempunayi kemanusiaan, hewan mempunyia kehwanan. Dan puisi tentu mempunyai kepuisian. Itulah sebabnya bentuk ini tidak disebut prosa, karena tidak mempunyai cirri-ciri sebuah prosa.
Maka tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ediyusman, “Puisi adalah puisi.”  Selanjutnya puisi tergolong kesenian, tentulah dia mempunyai  “Kesnian,” sesungguhnya dalam prusan ini penulis rasa tidak seorang pun membutuhkan definisi. Tetapi yang jelas, tidak kita bedakan “Rasa Puisi Colib Rita” dengan “Aku”-nya Charil Anwar. Dimana letak kelbihannya “aku” Chiril Anwar.
Tentang hal ini, yaitu rasannyaman atau terserah akan dipakai istilah apa sebagai akibat pertemuan batin kita dengan puisi tadi, barang kali ada yang berkomentar , “nah, itulah kesnian”. Karen itu kembalilah pada kesenian setiap kali berurusan dengan puisi.
Penulis ingin bertanya: “”sipakah yang tidak tahu bahwa puisi itu trmasuk kesenian?” justru orang tahu bahwa puisi itu termasuk kesenian, maka ia bertanya “POT”-nya Sutardji Clazoum Bachri itu  termasuk puisi atau bikan? Selanjunya terdorng pula penulis ingin tahu, tenatng seberapa jauh puisi itu sebagai sarang komunikasi, rasanya ucapan Karl jaspers dapat dijadikan ukurann “bukan saja dalam kenyataan saya bukan untuk diri saya sendiri, tetapi bahkan saya tidak dapat menjadi diri saya sendiri, tanpak muncul dari kehaidran saya bersama orang lain.” Sedangkan tugas puisi yang agak mentereng adalah seprti yang dikatakan oleh Charles Baudelarie: “la function de la poesie n’est fast de decrier mais de voquer”. Meskipun tidak sama persisi, kira-kira arti dan makan tidak terlalu juah dengan apa yang dikemukakan oleh M.S Hutagalung, yaitu: “…berfungsi memnusiawikan manusia, meransang perasaan estetis, mendekatkan menusi ke dalam kehidupan serta meransang untuk mengahyati kehidupan.”
Selanjutnya dikatakn: “sastra (termasuk puisi tentunya SH) yang hidupa dan yang akan hidup adalah sastra yang dapa menafsirkan kehidupan kini dan yang akan dating dalam karya yang estetik”. Menurut istilah Raner Maria Rilke: “tugas puisi adalah menghubungkan masa lampau yang sudah jauh dengan masa depan yang paling ujung.
Tentang istilah artistic sebagai manaa dimaksudkan oleh M.S Hutagalung tentulah berbeda dengan anggapan dasar Popor Iskandar. Jelasnya artistic non-visual, karena puisi pada hakikatnya bukan karya santapan maya sebagaimana seni rupa. Tifografi memang mempunyai andil mengefektifkan maksud puisi, tapi bukan satu-satunya. Dan karena itulah dalam menetukan kereatistikan suatu puisi dengan kompas tifografi, pada hemat penulis, dapat dikatakan akan keluar dari daerah puisi dan kurang dapat dipertanggung jawabkan. Contoh berikut dapat dapat dijadikan bukti Popo iskandar memraktikan metode tifografi artistiknya dalam usaha menilai salah satu puisi Sutardji Calzoum Bachari yang berjudul “TRAGEDY WINKA DAN SIHKA” yang berwajah demikian.
TRAGEDI WINKA dan SIHKA
kawin
    kawin
        kawin
            kawin
                kawin
                      ka
                win
                   ka
            win
               ka
        win
            ka
    win
      ka
    winka
        winka
            winka
                sihka
                    sihka
                        sihka
                               sih
                           ka
                              sih
                          ka
 sih
                          ka
                                                  sih
         ka
    sih
ka
    sih
          sih
    sih
          sih
    sih
         ka
    ku

(Sutardji Calzoum Bachri)
Kemudian meluncurlah komentar Popo Iskandar sebagai berikut. “dalam traged yang diungkapkannya secara simbolis dan sekaligus humoristis, ada benarnya juga jika digambarkan menurut garafik, di mana terdapat titik terendah, di mana peralihan dari kawin menjadi kasih berlansung dengan tidak kentara”
    Membaca komentar Popo Iskandar atas puisi Sutardji di atas, penulis selalu ingat gaya Arief Budiman dalam menilai sajak Aram saroyan yang hanya berdiri dari suatu kata: “OXYGEN” konon menurut Arief Budiman sajak tersebut dalam sekali maknanya, karena telah sanggup dengan tepatnya mengekprsikan bahaya pensemaran udara yang sudah sangat dirasakan oleh dunia barat dewasa ini.
    Mengambil pelajaran dari perestiwa di atas, kira-kira kedua orang kritikus itu kini sedang mempersiapkan sebuah penilaian atas tulisan Gunawan Muhamad yang berjudul “ARIEF BUDIMAN” yang ditulisnya pada catatan kebuadayaan majalah horizon terbitan januari 1972.
    Seanadainya dengan ini benar, sekali lagi penulis ingin bertanya: jalan manakah yang harus kita tempuh agar kita sampai kepada “kesenian” dan kepada Gunawan Muhamad pertanyaan penulis akan berbunyi “adakah tulisan tersebut menang dimaksudkan sebagai penulis.”
    Kemabali kemasalah puisi tugas dengan masalahnya, kalua di atas penulis katakana bahwa puisi memilki tugas, bukan lah berarti bahaw tugas itu terletak nilai sebuah puisi. Tugas yang dimilkinya bukanlah bersifat ekstaren. Tidak ada dan menyatu dalam diri puisi tersebut atau cipta seni pada umumnya karena kodarat. Jadi “ducle et tutile sebagai mana tulisan horase haruslah ditafsirkan sebagai akibat logis dari watak setiap cipta seni dan bukan sebagai tujuan akhir, untuk kejujuran harus dikorbankan. Sebab kalua terjaid demikian, yang terlahir bukan menjadi sebuah kesenian.
    Ddemikian lah kenyataan setiap cipta seni. Di suatu piahak  ia bersifat individual karena ia terlahir dari pribadi-pribadi, namun di pihak lain ia tidak melepaskan diri sama sekali dari social impaknya. Karena itulah tantangan utama bagi setiap seniman adalah mencari jalan keluar dari tendensi individulisasi kontrak sosialisasi fungsi dalam masyarakata selalu berusaha untuk meraihnya. Untuk maksud tersebut ia tidak akan pernah menetang arus dan mealbrak begitu saja konvesi masa. Memang penyair memili lisensiavoitika. Tapi lisensiavoitica bukanlah berbarinya dalam bahasa. Dengan kata lain, kebabsan penyair dalam beruerusan dengan kata bukanlah kebebasana yang sewenag-wenag.
    Berangkat dari uraian di atas cukup sah rsnya kesangsian orang terhadap haasil-hsil karya para pengarang akhir-akhir ini tadak menggunakan kata sebagai puisi, lbih-lebih yang hanya berupa garis-garis atau kotak.
   

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
puisi tanpak kata adalah puisi yang sama sekali tidak menggunakan kata sebagai alat ekspresinya. Sebagai gantinya di gunakan titik-titik, garis, huruf, atau simbol-simbol lain. Pendapat lain mengenai puisi, hanya rasanya tidak dapt di bantah oleh siapa pun adanya kenyataan bahwa setiap benda memilki ciri-ciri yang hakiki, yang membedakannya dari benda-benda lain. Katakanlah mempunyai kepribadian. Manusia mempunyai sifat kemanusiaan, hewan mempunyai sifat kehewanan, dan puisi tentu mempunyai sifat kepusian. Itulah sebabnya bentuk itu tidak disebut prosa karena tidak mempunyai ciri-ciri sebuah prosa.
Dalam membuat puisi pengarang memiliki lisensiavoitika, lisendsiavoitika adalah kebebasan pengarang menggunkan bahasa untuk mengeksprsikan perasaannya sedekat mungkin. Berangkat dari urain di atas cukup sah rasanya kesangsian orang terhadap hasil-hasil karya para pengarang akhir-akhir ini yang tidakk menggunkan kata sebagai pusi, ebih-lebih yang hanya berupa garis-garis atau symbol-simbol lain.
3.2    Saran

Dalam makalah ini penulis memberikan saran, bahwa dalam menilai sebuah puisi jangan sekedar dilihat dari keindahan kata yang digunkan oleh pengarang. Sebaiknya dalam menilai sebuah puisi kita harus bersifat netaral entah puisi itu mengugunakan kata, frase, kalimat atau simbol lain. Yang paling utama dalam menilai sebuah puisi adalah isi amanat yang disampaikan oleh pengarang dengan menggunkan simbol-simbol bahasa.



DAFTAR PUSTAKA

Soemerep A. Zubaidi. 1987.  Diktat Prihal Sastra Kontemporer. Mataram.
http://puisi kontemprer.com/Kumpulan Puisi Kontemperer.
    Diakses pada tgl: 1 januari 2010.
http://puisi kontemprer.com/ Puisi Berdasarkan Zaman dan Bentuknya.
    Diakses pada tgl: 1 januari 2010.
http://puisi kontemprer.com/Puisi Melampoi Bahasa.
    Diakses pada tgl: 1 januari 2010.
http://buku-buku gratis.com/ Dasar-Dasar Analisis Puisi.
    Diakses pada tgl: 1 januari 2010.

1 komentar: