cerita lingkungan


RAJUTAN KAIN SUTRA

Kemarau yang begitu panjang melanda desa Meratai, kemiskinan menjerat kehidupan masyaratkat desa itu. Semua tanah-tanah mengalami kekeringan dan keretakan, hujuan tak kunjung turun menyirami butiran-butiran debuh dan pucuk-pucuk daun. Sawah-sawah menjadi kosong dan rumuput-rumputpun menguning. Kehausan dan kelaparan, tangisan-tangisan bayi menjadi hal yang akan terbiasakan terdengar terbawa oleh angin.
 Sebuah keluarga yang hidup di rumah yang amat kecil, berdinding gedek, beratapkan sirap yang lupuk dan mulai bocor, gambaran kemiskinan. Rumah tersebut letaknya cukup jauh dari rumah para penduduk lain, kesepian dan kesunyian menyelimuti suasana rumah kecil itu ketika malam tiba, hanya terdengar suara jangkrik-jangkrik menghibur telinga penghuni rumah tersebut. Jauh dari keramain, dan tidak ada suara-suara TV yang menghibur sebagaimana rumah-rumah yang lain.
 Alfian merupakan anak sulung dari keluarga tersebut baru berusia 12 tahun. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya dan adiknya bernama Yanta.  Ayahnya sebagai tulang punggung keluarga sudah tidak mampu untuk menafkakan mereka karena sakit tumor yang dia alami. Ibunyalah yang mengganti posisi ayahnya mencarikan rezki untuk menyabung hidup mereka. Sementara Alfian setia menemani ayahnya yang terbaring sakit.
Penghasilan yang didapatkan ibunya hanya cukup untuk makan sehari-hari, sementara sang ayah yang sakitnya semakin parah membuat ibunya berhutang pada seoarang juragan tanah di desa itu untuk mengobati ayahnya, juragan tanah tersebut terkenal dengan kekayaannya dan dikenal sebagai rentenir yang kejam.
Sudah sebulan lamanya ibu meminjam uang dari rentenir itu, sore esok  ibunya harus melunasi hutangnya pada rentenir tesebut karena jatuh tempo pembayaran, sementara uang belum ada ditangannya. Kebingungan dan kecemasan menambah geteran detak jantung ibunnya, mengingat rentenir tersebut terkenal dengan kesadisannya.
Suara ketukan pintu tiga kalipun terdengar, Rentenir itu ternyata sudah berdiri di depan pintu bersama kedua anak buahnya untuk menagih hutang ke rumah Alfiain.
“Ibumu mana? ” sapaan juragan tanah ke Alfian,
“Ibu, ada di dalam, tunggu bentar Gan saya panggil dulu” Alfian menjawab.
 “Sore Gan” ibu menyapa.
“Sekarang kau bayar hutang-hutang mu, hari ini kau sudah habis temponya”  Juragan sambil menghisap cerutu yang baru dibakar oleh salah satu ankbuahnya.
 “Maaf Gan, sekarang saya belum punya uang, berikan saya waktu satu minggu lagi” ibu mengimis sambil berlutut di kaki sang jurgan.
 “Ah kamu ini, he sekarang kalian cepat geleda rumahnya dan ambil barang berharganya” juragan menyuruh kedua anak buahnya.
Karena suara ribut di luar, dan para anak buah juragan tanah tersebut mengobrak-abrik isi rumah terebut membuat ayah berusaha bangkit dari tempat tidurnya dengan rasa penuh kesakitan.
 “Ada apa ini, kenapa kalian obrak abrik isi rumah ku?” bapak mengertak anak buah juragan.
“Ah kamu diam saja, laki-laki lemah” balas salah satu anak buah jurgan.
 Ayah menghampiri orang tersebut, dengan sepontan mereka mendorong ayah sehingga terpental dan terjatuh, kepalanya terkena kursi dan mengeluarkan darah yang sangat banyak. Alfian teriak menangis karena melihat ayahnya, tak lama kemudian ayahnya meninggal dipangkuannya. Juragan tanah dan anak buahnya lari meninggalkan tempat tersebut.
Para tetanggapun bergerumul mendatangi rumah tersebut karena mendegar suara teriakan yang begitu keras disertai dengan tangisan orang-orang yang ada di rumahnya Alfian. Kesedihan menyelimuti suasana siang hari itu, para tetangga turut berduka cita atas kepergian ayahnya Alfian. Sebagian warga lansung mempersiapkan peroses pemakaman dan semua perlengkapan jenazahpun dia persiapkan secara gotong royong.
Matahari sudah mulai melangkah mendekati puncak-puncak gunung yang berdiri di bagian barat desa itu, persiapan sudah lengkapan, jenazah sudah siap ditanam. Di sinilah puncak kesedihan terjadi. Adiknya, Yanta dipangku oleh ibunya, sedangkan Alfian berdiri di samping kanan ibunya sambil memegang Al-Qur’an. Tiba-tiba Yanta berkata ”Jangan kalian tanam Ayahku, kasian dia. Dia sendiri di dalam sana, tidak ada yang menemani.” dia memberontak pingin turun dari gendonagn ibunya. ”Turuni aku, aku pingin tingal bersama ayah” sambil memukul ibunya.
Kini keluarga tersebut sangat meresa kehilangan orang yang mereka banggakan. Pada suatu malam, Alfian bersama adiknya tidur di pangkuan ibunya.
 “Nak sekarang ayah sudah tiada, kini keluarga kita makin sepi.” Ibu sambil megelus-elus kepala kedua anaknya.
“Ia bu, rumah kita makin sepi” sambut Yanta, sementara Alfian terus meneteskan air matanya meresa sedih dan kehilangan.
“Nak, kita masih punya hutang di juragan tanah itu, bagaimana kita jual tanah kita yang sepetak itu untuk biaya ibu pergi ke negeri Jiran. Agar semua hutang kita lunas semuanya” ibu meminta pendapat ke  kedua anaknya.
“Tapi bu…” kata Alfian.
 “Kalau tidak begitu kita tidak bisa mendapat uang untuk membayar hutang-hutang kita” balas ibu.
Setelah beberapa hari kajidan duka menerpa keluarga tersebut, anak buah juragan tanah  datang menagih utang kembali. Setiap mereka menagih tak berhenti-henti cacian mereka lemparkan kepada ibunya Alfian. Alfian selalu meneteskan air mata kesediahn setiap ibunya di caci oleh anak buah juragan tanah tersebut. tak bisa dia lakukan apapun selain sedih dan memeluk ibunya. Caci demi caci yang dia dengar membuat hatinya luluh untuk menjual harta satu-satunya peninggalan ayahnya yaitu tanah sepetak.
Keesokan harinya mereka pergi menemui juragan tanah tersebut untuk menjual tanahnya ke tempat juragan tanah tempat mereka berhutang, dengan membawa surat-surat tanah yang mereka akan jual. Sesampai di rumah juragan tanah itu, mereka di sambut oleh kedua anak buah juragan tanah.
”He ada apa kalian kesini?”  sapaan salah satu anak buah juragan dengan suara lantang.
”Maaf. Kami mau bertemu dengan Juragan” ibu menjawab dengan suara pelan.
”juragan lagi sibuk, sekarang tidak bisa diganggu. Sekarang kalian pulang saja dulu, besok saja balik lagi” anak buah juragan tersebut mengusir Alfian bersama ibunya.
”Tapi kami......” Alfian sambil menahan dirinya.
Tiba-tiba juragan tanh itu keluar, ”siap itu?”
”Mereka Gan, orang miskin yang berhutang dijuragan”
”Eh..... kalian silakan masuk, bagaimana kalian sudah dapat uangnya?” juragan sambil menganggukan kepala.
”Maaf gan, maksud kedatangan kami ke sini, untuk menjual tanah kami” sambut ibu.
”Oh...mana surat-suratnya?”. Alfian memberikan surat tanah yang dia bawah kejuragan tersebut. Hasil penjualan tanahnya mereka mebayar hutang-hutang dan sisanya untuk biaya ibunya pergi kenegeri Jiran yang dimimpikan oleh ibunya.
Semua persiapan sudah dipersiapkan oleh ibunya untuk berangkat mencari nafkah di Negeri Jiran terutama persiapan fisiologisnya, yang sebentar lagi akan meninggalakan kedua anak-anaknya yang masih kecil tanpak ada seorangpun dia titip. Untuk kedua kalinya Alfian bersama adiknya akan merasa sedih dan kesepian.
Dikala senja menjemput awan-awan gelap, hati mereka semerawut memikirkan setiap detik kemana mereka akan mengayunkan kaki kecilnya. Lalu, tangan-tangan kecil mereka menggengam satu persatu mengemasi barang-barang yang akan dibawa oleh ibunya. Tidak lupa Al-Qura’an, sejadah dan mukna, di masukan kedalam tas ibunya oleh Alfian. Malam itu merupakan malam terakhir mereka berkumpul bersama, malam sudah larut pun Alfian dan Yanta tidak mau tidur. Mata mereka seakan tak merasa lelah, waktu semakin terasa singkat, suara adzan subuh berkumandang terdengar menembus celah-celah dinding rumah kecil mereka. Dengan tubuh yang terasa kelelahan mereka bergegas bangun mengambil air wudhu, untuk menunaikan sahalt subuh.
Saat pajar mulai menyinsing semua berang bawaan sudah dikeluarkan di depan rumah. Detik-detik waktu kini sangat berharga bagi mereka, Alfain dan Yanta memluk erat tubuh ibunya, sambil meneteskanair mata kesediahan.
Kini bus jemputan ibunya telah datang, pelukan semakin erat seakan tak bisa terlepas. Suasana menjadi amat terharu. Para tetangga yang datang ikut melihat kepergian ibunya ikut terhanyut dalam suasana. Kini ibu harus pergi meninggalkan mereka pelukan erat dengan terpaksa di lepaskannya. Sentuhan jari-jari ibunya semakin menambah kesediahan Alfian.
 Berangkatlah ibu dengan menenteng sebuah tas yang berisi pakain-pakain, terlihat raut muka sedih dan mata berkaca berlinang air mata yang menetes membahasi pipihnya ketika menaiki bus jemputan. Lamabain tangan-tangan yang menghantar kepergian ibunya seakan menepis angin mendorong mobil semakin jauh dari pandangan.
Kini hari demi hari, Alfian dan adiknya  menghadapi hidup kesendirian yang penuh rintangan tanpak kedua orang tunya. Namun, Alfian tak mau putus asah dan berlama-lama dalam rasa kesedihan, dia berusaha bangkit dan semangat menghadapi kenyataan. Sehari-hari Alfian dan adiknya memasak singkong untuk menahan rasa lapar yang melilit perutnya. Untuk membeli peralatan lainya, dia mencari keong di sungai-sungai untuk dia jual dan sebagian dia makan. Kadang-kadang adiknya menangis kepingin makan nasi dari beras, Alfian keluar meminta belas kasian dari tentangganya untuk meminta beras, terkadang dia dapat bahkan pelastik yang dia bawa kembali dengan kosong. Karena masyarakat desa tersebut sama-sama mengalami kesulitan.
Sudah sebulan sepeninggalan ibunya. Muncul lagi rasa rindu dan kangan yang mendalam dari kedua anak ini. Ketika mereka duduk di depan rumah kecilnya, tiba-tiba berhenti sebuah motor yang berwarna orange membawakan sepucuk surat. Tidak berpikir panjang Alfian lansung membuka dan membaca surat tersebut yang berisi kabar dan pesan dari ibunya yang berbunyi,
Buat anak yang aku sayanggi Alfian dan Yanta. Nak kini ibu telah sampai di negeri Jiran, keadaan ibu baik-baik saja, bagaimana dengan kalian? Mudah-mudahan baik saja ya nak. Maafin ibu kalau harus pergi mencari nafkah jauh dari kalian. Tapi, jangan hawaitr nak pulang nanti ibu pasti akan membawakan uang banyak untuk kalian. Untuk Alfian, tolong jaga adikmu ya sayang. Dari Ibu”.
 Seusai membaca surat itu lensung mereka mencium surat tersebut dan menyimpannya. Tiba-tiba sang adik memokuskan pandangan di foto keluarga yang kusam dan berdebu menempel di dinding. Tergambar ayah memeluk ibu sedangkan Alfian dan adiknya berdiri ditangah-tengah mereka. Kerinduan bisa redah sejenak dengan munculnya surat dari ibunya.
Alfian sangat bertanggung jawab mengurus adiknya dengar sabar dan penuh kasih sayang. Semua perkerjaan dia lakukan, dari mencari  sampai memasaknya. Alfian memiliki keperibadian yang dewasa kehidupan masa anak-anaknya tidak dapat dia rasakan sebagaimana anak-anak yang lain di desa itu. Dia bersama adiknya lebih memilih untuk mengais rezki ketimbang bermain bersama temannya. Selasai sahalat subuh dia lansung mengurus sarapan adiknya dan mengrus pekerjaan rumah lainnya. Setalah pekerjaan rumah selasai, dia lansung mengambil alat pemburuan keongnya untuk menelusuri pringir-pinggir sungai.
Lima tahun sudah ibunya yang mengais ringgit di negeri Jiran sana belum juga pulang, bahkan kabarnya pun sudah tidak ada. Sepucuk surat pertama itu, ketika dia telah sampai di negeri Jiran merupakan kabar terakhir untuk anaknya.
Foto yang terpasang di ding kemudian di ambil oleh Alfian  dan dibersihkan. Pada saat mereka tidur foto itu Alfian bersama adiknya memeluk dan mencium foto satu-satunya masih tersisah yang melukis wajah kebahagaian ketika keluarga itu masih lengkap. Hal ini dia lakukan setiap mau tidur.
Malam yang sepi dan hening, hanya suara radiao butut yang suaranya sudah soak dan jangkrik-jangkrik yang meramaikan sekeliling rumah Alfian. dia bangun dari tempat tidur membuka jendela dan melihat langit yang penuh dengan cahaya keramain bintang dan bulan dengan kecerian. Dia teringat akan semasa keluarga masih lengkap canda dan tawa kebahagian selalu meramaikan gubuk kecilnya.
 Dengan mata yang berkaca dia memadang langit sambil berkata “Oh tuhan ku, aku sangat merindukan keramain itu…..ayah yang aku banggakan telah kau panggil untuk selamanya, dan ibu yang pergi nan jauh di sana kini sudah tidak ada kabarnya. Saat malam tiba raut muka keduanya selalu terbayang di ingatan ku. Tak ada kuasa aku menemui mereka, selain kata doa aku hanturkan untuk mereka semoga Kau ya Tuhan melindungi mereka. Kini aku dan adikku menjadi sebatang kara di dunia penuh cobaan ini, Ya Tuhanku apa yang harus aku lakukan dengan kesendirian aku mengahadapi cobaan yang kau berikan. Berikan aku kesabaran dan kekuatan menjalani kehidupan ini. ” Yantapun terbangun dan mengajak kakanya untuk tidur kembali.
 ”Kak sekarang sudah larut malam, mari kita tidur lagi. Aku merasa kedinginan jika tidak ada kak disampingku” bujukan adik mengajak kakaknya.
 Alfian menutup jendela, kemudian mereka naik di ranjang sudah tua yang selama ini menopang dan melelapkan mata kedua anak itu.
Kedua anak ini terlelap dengan nyenyak, Alfian bermimpi, bertemu dengan ibunya. Di dalam mimipinya sang ibu menggunakan gaun serbah putih, dan sangat cantik menghampiri Alfian tetapi tidak berbicara sekatapun.
Alfian bertanya ” Ibu sedang apa di sini?, ibupun tidak menjawab. Kemudian ibunya menarik tangan Alfian dan membawanya ke sebuah rumah yang sangat besar dan megah. Seketika mimpi itu hilang karena Alfian merasa terjaga oleh adiknya yang sedang meriang. Ternyata Yanta mengalami demam yang sangat tinggi. Selayaknya orang tua, Alfian mengambil air untuk mengompres adiknya untuk menurunkan demamnya.
Keesokan harinya Alfian meminjam uang ketetangganya untuk membelikan obat adiknya. Karena melihat Alfian dan adiknya salah seorang tetangga datang menjenguk mereka. Sesampai di rumah Alfian, orang itu sedang melihat Alfian menyuapi adiknya dengan singkon.
”Eh ibu, silakan masuk bu” sapaan Alfian menyambut kedatanagan ibu itu.
”Adik mu kenapa Ian?” tanya ibu itu.
”Dari semalam dia meriang dan demam bu” balas Alfian.
”Sudah kau bawa ke dokter?” ibu itu sambil mengelus kepalanya Yanta,
”kami tak punya uang bu untuk membawanya kedokter” Alfian menatap adiknya sambil meneteskan air matanya. ”Tapi, saya sudah memberikan obat penurun panas”.
”Sekarang kamu bawa adik mu ke dokter” suruhan ibu itu.
 ”Tapi bu...” keluhan Alfian.
”Tenang saja kalau masalah biaya biar ibu yang menanggungnya”. 
”Terima kasih bu atas bantunya”
Tak berpikir panjang Alfian lasung membawa adiknya ketempat dokter terdekat di desa itu. Sesamapi di tempat dokter, Yanta lansung diperiksa oleh dokter tersebut. Hasil pemeriksaan dokter ternyata Yanta hanya kecapain dan butuh istirahat.
Kecemasan Alfian tidak berhenti di situ saja, pada suatu malam dia ketika dia membeli telur di kios di desanya Alfian melihat siaran televisi. Siaran tersebut menyampaikan bahwa ada seorang TKI dari Indonesia yang identitasnya belum dikenal ditemukan tewas dengan mengenaskan, tubuhnya penuh bekas penganiayaan. Alfian sektika terhendak diam sambil mengeluarkan air mata teringat ibunya di negeri Jiran sana.
Dihampirinya Alfian oleh yang punya kios, ”Ada apa Ian?”.
 ”Nda ada bu” alfian sambil mengusap air mata di pipinya.
”Yang sabar ya nak, ibu mu pasti akan pulang ko. Kamu harus tabah dan sabar” sambil memberikan telur yang dipesan oleh Alfian.
Alfian lansung pulang, memasakan adiknya telur yang dia belikan. Dengan ditemani dengan telur rebus, adiknya dengan lahap menyantap singkong rebus yang mejadi bahan pokok makanan Alfian dan Adiknya semasa ditinggal oleh ibunya.
            Teringat dengan berita yang di dengar dari televisi dikios tadi. Alfian mengambil radio bututnya, dan mencari berita luar negeri di frekunsi AM. Dengan suara radio yang mulai soak Alfian berusha menyimak siaran berita dari luar negeri. Tiba-tiba terdengar olehnya pembawa berita menyebutkan topik beritanya tentang tewasnya seorang TKI dari Indonesia, persis dengan berita yang dia dengar sebelumnya. Diberita tersebut masih menyatakan jenazah seorang TKI wanita teresebut masih belum di ketahui identitasnya.
Rasa was-was dan ketakutan menghantui Alfian, dia hawatir jenazah TKI tersebut ibunya. Malam sudah larut, akan tetapi Alfian belum juga tidur. Memikirkan semua berita yang dia dengar.
Ketika pajar mulai menyinsing, Alfian lansung menghidupkan radionya untuk mendegar perkembangan berita tentang TKI yang dia dengar, akan tetapi radionya sudah tidak bisa hidup karena batrainya sudah habis. Alfian menunggu datangnya terik matahari. Setelah matahari mengelurkan panasnya, Alfian segera menjemur batrai radionya. Sambil menunggu batrai yang di jemur, dia duduk di depan rumahnya. Sejam sudah lamaya Alfian menunggu, kemudian mengambil dan memasang batrai yang dia jemur. Akhirnya radio tersebut bisa mengelurkan suara, dengan frekusnsi yang sudah diatur semalam dari radio tersebut pembawa berita menyampaikan perkemabangan penyelidikan jenazah yang ditemukan. Ternyata janzah tersebut tidak sesuai dengan ciri-ciri dan identitas ibunya. Sektika Alfian lansung sujut sukur dan berterimakasih kepada Tuhan. Rasa legah mulai membangkitkan semangatnya, meski kabar dari ibunya bulum juga ada sampai sekarang.
Hari sudah mejelang sore, tiba-tiba berhenti mobil bertuliskan TKI Indonesia di depan rumah Alfian. Adiknya teriak memanggil kakknya,
”Kak...Kak, ada mobil, berhenti di depan rumah, ayo kak kesini cepat lihat”
”Tunggu bentar dik, kak lagi nyalakan tungku untuk masak air” balas Alfian dari dapur.
Tiba-tiba turun seorang wanita paruh baya, dengan membawa kopor yang sangat besar dari mobil tersebut.
Teriak Yanta memangil ”Ibu.....Ibu sudah pulang, kak Ibu pulang, cepat keluar” dengan buru-buru Alfian keluar dari rumah. Dan terhenti sejenak di depan pintu memastikan apakah benar ibunya yang turun dari mobil tersebut.
”Anakku...........” ibunya sambil lari menghampiri kedua anaknya. Suasana menjadi terharu dan bahagia. Alfian pun berlari menjemput ibunya, dia menagis dan memluk erat ibunya. Kini kesepian dan kesunyian berubah menjadi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar