campur kode bahasa

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga proposal yang berjudul “ Campur Kode Bahasa Bima dalam Pemakain Bahasa Sumbawa Masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano” ini dapat terselsaikan.
Selawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada baginda Muhamad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabat-Nya, serta pengikut-Nya yang senantiasa selalu istiqomah di atas sunah-sunah, serta ajaran yang beliau bawa sampai hari kiamat kelak.
Dalam penulisan makalah ini, penulis dihadapkan oleh berbagai macam permasalahan, tetapi dengan adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, proposal ini terselsaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati menyampaikan rasa terima kasi yang sedalam-dalamnya kepada yang terhomat.
1. Bapak Prof. Ir. H. Sunarpi, Ph.D. selaku rektor Universitas Mataram.
2. Bapak Prof. Dr. Mahsun, M.S. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram.
3. Bapak Drs. Kamaludin, Ph.D. selaku ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram.
4. Bapak Drs. Cedin Admaja, M.Si. selaku ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram.
5. Bapak Ahmad Sirulhaq, M.Hum. selaku pembimbing mata kuliah Penelitian Bahasa.
6. Semua pihak kampus yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu yang membatu pelaksanaan perkuliahan khususnya matakuliah Penelitian Bahasa.
7. Kedua orang tua penulis yang selalu membantu, membimbing, serta mengarahakan kepada jalan yang benar.
8. Semua pihak yang telah banyak memberikan kritik dan sarana serta bantuan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelsaikan proposal ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya atas semua bantuan dan motivasinya yang telah diberikan kepada penulis.
Kami menyadari bahwa proposal ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.


Mataram, 25 Mei 2011
penyusun












DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHAULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Malasah 3
1.3 Tujuan Penulisan 3
1.4 Manfaat Penulisan 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu 5
2.2 Landasan Teori 6
2.2.1 Kedwibahasaan 6
2.2.2 Pengertian Campur Kode 9
2.2.3 Bentuk Campur Kode 9
2.2.4 Jenis Campur Kode 11
2.2.5 Fungsi Campur Kode 11

BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sample 14
3.1.1 Populasi 14
3.1.2 Sample 14
3.2 Metode Pengumpulan Data 15
3.2.1 Metode Cakap (wawancara) 15
3.2.2 Metode Simak 16
3.3 Metode Analsis Data 17
3.3.1 Metode Padan Intralingual 17
3.3.2 Metode Padan Ekstralingual 17
3.4 Metode Penyajian Analisis Data 18
DAFTAR PUSTAKA



















BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan wahana komunikasi yang sangat penting keberadaanya di tengah-tengah masyarakat. Tanpak adanya bahasa, maka tidak akan terjadi interaksi dalam kehidupan. Dalam proses komunkasi harus ada tiga komponen, yaitu (1) pihak berkomunikasi yakni penerima dan pengirim pesan yang lazim disebut partisipan, (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat komunikasi yang digunakan dalam komunikasi, (Chaer dan Agustina, 2004: 17). Bahasa sebagai media komunikasi bersumber dari komunikasi pemakainnya, kemudian dipelihara dan dikembangkannya.
Di Indonesia, komunitas pemakai bahasa sangatlah banyak dan beraneka ragam karena teridiri dari suku-suku bangsa yang berbeda-beda. Sehingga dapat dikatakan bahwa selain mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, juga mampu menggunakan bahasa ibunya/bahasa kedua dengan baik. Selain itu, faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indoensia (Alwi, 2003:3).
Kemampuan menggunakan dua bahasa atau yang disebut blingual dapat mendorong pemakain bahasa yang berbeda secara bersamaan. Suatu keadaan berbahasa seperti ini, bilamana orang mencampur bahasa dua atau lebih tanpak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam hal demikian, hanya kesantain penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindakan bahasa yang demikian kita sebut campur kode (Nabban, 1991: 32).
Perestiwa campur kode terjadi karena ketergantungan penutur terhadap pemakain bahasa. Masyarakat yang menetap di karang Bima desa Bonto kecematan Tarano mayoritasnya adalah penduduk dari Bima keturunan suku Mbojo. Oleh karen itu, dalam perestiwa tutur yang terjadi di karang Bima ini menggunakan bahasa Sumbwa yang dipengaruhi oleh bahasa Bima. Pemakain bahasa Bima ini dipakai berdasarkan tempat, situasi dan tujuan bahasa ini digunakan.
Adapun bentuk perestiwa tutur itu dapat berupa fakta, frase, serta klausa yang dapat dilihat dari cara mereka menyampaikan informasi secara lisan yang menimbulkan intraksi sosial satu sama lain dalam komunikasi mereka.
Seperti kita ketahui bersama di pulau sumbawa awal mulanya terdiri dari dua suku yaitu suku Samawa dan suku Mbojo. Masyarakat suku Sumbwa dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Sumbawa itu sendiri dan suku Mbojo menggunakan bahasa Mbojo (Bima). Karena kedua suku ini terdapat dalam suatu pulau. Mereka menjalin hubungan keakrabatan dan bahkan masyarakat suku Mbojo bertempat tinggal membentuk sebuah lingkungan sendiri di antara Suku Samawa bertempat di Desa Bonto Kecamatan Tarano. Oleh karena itu, masyarakat suku Mbojo di Karang Bima mahir menggunakan bahasa Sumbwa bahkan bahasa yang dominan yang digunakan adalah bahasa Sumbawa, namun ada kata-kata, frase atau kalusa tertentu yang mereka gunakan pada saat berkomunikasi.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan suatu penelitian dengan judul “Campur Kode Bahasa Bima Dalam Pemakain Bahasa Sumbawa Masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano”

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dikemukakan suatu rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano?
2. Bagaimanakah jenis campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano?
3. Bagaimanakah fungsi campur kode bahasa Bima dalam pemakaian bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano?
4. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mendeskripsikan bentuk campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano.
2. Mendeskripsikan jenis campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano.
3. Mendeskripsikan fungsi campur kode bahasa Bima dalam pemakaian bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano.
4. Mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano.
1.4 Manfaat Penelitan
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
1. Meningkatkan pengetahuan peneliti campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano.
2. Menambah keaneka ragaman hasil penelitian bahasa (linguistik) khususnya sosiolinguistik.
3. Memperkaya khasanah budaya daerah khususnya budaya Sumbawa.
4. Sebagai bahan perbandingan begi penelitian selanjutnya.






BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan penelitian penggunaan bahasa campur kode sudah sering dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penalitian tersebut memberikan arahan yang cukup berarti bagi peneliti dalam proses penelitian ini.
Penelitian yang relevan tentang campur kode ini antara lain yang pertama dilakukan oleh Anwar (2006) dalam skripsinya berjudul ”Bentuk Perestiwa Campur Kode Pemakain Bahasa Indonesia pada Pengajian Tuan Guru Bajang”. Penelitian Anwar ini meneliti tentang perestiwa campur kode yang dilakukan oleh Tuan Guru Bajang dalam memberikan kajian yang menggunakan dua bahasa. Penelitian teresebut menguraikan bentuk campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Sasak.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Al Idrus (2009) dengan judul ”Campur Kode dalam Pemakain Bahasa Indonesia di Lingkungan Telaga Mas Ampenan Utara”. Dalam penelitian ini membahas tentang bentuk, jenis, dan fungsi campur kode dalam pemakain bahasa Indonesia beserta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Afandi (2009) dengan judul ”Campur Kode Bahasa Arab dalam Pemakain Bahasa Indonesia Aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Majelis Taklim Al-Kahfi FKIP UNRAM”. Dalam penelitian ini, Afandi membahas tentang bentuk campur kode bahasa Arab dalam pemakain bahasa Indonesia, jenis campur kode, fungsi campur kode, dan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode. Yang menjadi populasi penelitian ini aktivis UKMF MT Al-Kahfi FKIP Unram.
Sedangkan penelitian yang diangkat oleh peneliti pada kesempatan ini adalah ”Campur Kode bahasa Bima Dalam Pemakain Bahasa Sumbawa Masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano”. Yang akan dibahas oleh peneliti adalah bentuk campur kode bahasa Bima dalam pemakian bahasa Sumbawa, jenis campur kode, fungsi campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa, dan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode bahasa Bima dalam pemakain bahasa Sumbawa.
2.2. Landasan Teori
2.2.1 Kedwibahasaan
Kedwibahasaan artinya kemanpuan atau kebiasaan yang dimiliki oleh penutur dalam menggunakan bahasa. Banyak aspek yang berhubungan dengan kajian kedwibahasaan antara lain, kata kedwibahasaan ini mengandung dua konsep. Pertama kemampuan mepergunakan dua bahasa / bilingualitas dan yang kedua kebiasaan memakai dua bahasa / bilingualisme. ( Aslinda dan Syafyahya,2007: 8).
Istilah kedwibahasaan oleh para ahli bahasa, dianggap mengandung pengertian yang relatif, oleh karena batasan seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan itu bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. ( Suwito, 1983:40 ).
Bloomfield dalam (Chaer, 1995:54) menegaskan, penguasaan bahasa asing yang baik, tidak disertai kehilangan bahasa ibu, akan menghasilkan bilingualisme atau kedwibahasaan. Pengusaan dua bahasa seperti penutur asli, Bloomfield dalam (Chaer, 1995:54) menganggap, kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur (native like control of two laguage). Pendapat ini menurut persyaratan bahwa setiap bahasa dapat dipergunakan dalam setiap keadaan dan kelancaran dan ketepatan yang sama, seperti penggunaan oleh penutur asli dari setiap bahasa itu. Kedwibahasaan seperti yang dirumuskan oleh Bloomfield ini, oleh Halliday (dalam Fishman, 1977:14) disebut dengan istilah ambiligualisme.
Dalam perkembangannya, menurut Suwito (1983:37), pengertian kedwibahasaan seperti ini, kurang dapat diterima oleh para ahli bahasa lain yang muncul setelah mereka. Oleh karena itu,untuk menentukan sejauh mana seorang penutur menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya, tidak mempunyai dasar sehingga sukar diukur. Oleh sebab itu, pengertian ”native like control of two language” ini hanya dapat dipandang sebagai salah satu jenis dari kedwibahasaan. Adapun kedwibahasaan menurut Wenricha (dalam Suwito, 1983:39), adalah peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang penutur atau kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain (Nababan, 1984:29). Sedangkan kemampuan atau kesanggupan seseorang memakai dua bahasa disebut dwibahasawan atau bilingual.
Pengertian kedwibahasaan yang diberikan pada dua definisi di atas, tidak mempersyaratkan pengetahuan yang sama tentang dua bahasa atau lebih yang diketahui oleh dwibahasawan. Menurut Hangen, seorang dwibahasa, tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, cukuplah dia tahu dua bahasa saja, (knowledge two languages), atau mengetahui secara pasif dua bahasa (a complate pasive biligualism, understanding without speking agen, (dalam Suwito, 1983:41), batasan terendah untuk menyebutkan seseorang dwibahasawan adalah kesanggupan memproduksikan tuturan yang bermakna lengkap (to produce complite heaningful utterances in other language).
Berkenaan dengan ini, Machey, (dalam suwito 1983:55), membagi adanya tingkat kedwibahasaan yang dimaksud untuk membedakan tingkat kemampuan seseorang dalam penguasaan bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan demikian dapat dilihat dari penguasaan penutur terhadap segi gramatikal, leksial, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan bahasanya, yaitu mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai oleh seorang penutur makin tinggi tingkat penguasaannya, sebaliknya makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur itu makin rendah pula tingkat kedwibahasaanya.
2.2.2 Pengertian Campur Kode
Apabila seseorang mula-mula menggunakan bahasa Indonesia dan kemudian menggunakan bahasa daerah atau mencampur bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, maka peristiwa penggunaan bahasa seperti itu disebut campur kode. (Nababan, 1991:32) suatu keadaan berbahasa lain bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa (speech act atau discourse) tanpak ada sesuatu yang menuntut pencampuran bahasa itu.
Campur kode memiliki kesamaan dengan alih kode, dimana digunakannya dua bahasa (atau lebih) atau varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur. Namun, dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode yang lain yang terlibat dalam perestiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieses) saja, tanpak fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode (Cahaer dan Agustina, 2010: 114). Dan dijelaskan lagi oleh Fasold, 1984 (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 115), campur kode adalah penggunaan satu kata atau frase dari satu bahasa.
2.2.3 Bentuk Campur Kode
Dalam penelitian ini akan dibahas pula tentang bentuk-bentuk dari peristiwa campur kode. Adapun bentuk campur kode tersebut adalah berupa kata dasar, frasa, serta klausa yang semuanya itu merupakan unsur yang terdapat dalam analisis sintaksis, yaitu analisis tentang hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau analisis tentang makna atau arti dalam bahasa (Chaer, 2002:2).
Kata dasar adalah kata yang belum mendapatkan tambahan yang berupa imbuhan (afiks) yang termasuk morfem bebas. Dalam bahasa Indonesia kita memiliki empat katagori sintaksis utama: (1) verba atau kata kerja, (2) nomina atau kata benda, (3) adjektifa atau kata sifat, dan (4) adverba atau kata keterangan (Alwi, 2003: 36).
Frasa adalah kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang (Verhaar, 2004:291). Dan dijelaskan lagi oleh Putrayasa, (2007: 3) frasa adalah kelompok kata yang menduduki sesuatu fungsi di dalam kalimat.
Campur kode juga terdapat dalam bentuk klausa. Klausa merupakan satuan gramtikal berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, Kridalaksana 1985 (dalam Putrayasa, 2007:11 ). Selanjutnya Alwi (2003:39) juga menjelaskan istilah klausa dipakai untuk merujuk pada deretan kata yang paling tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi belum memiliki intonasi atau tanda baca tertentu.

2.2.4 Jenis Campur Kode
Jenis campur kode ada dua yaitu; (1), campur kode sementara dan (2) campur kode permanen.
Campur kode sementara terjadi apabila pemakai bahasa sedang mensitir kalimat bahasa B2 ketika sedang ber-B1, atau sebaliknya. Sedangkan campur kode permanen terjadi karena perubahan relasi antara pembicara dengan mitra bicara, misalnya mitra bicara semula sebagai teman akrab tetapi mitra bicara itu sekarang menjadi atasan, biasanya pembicara mengganti kode bahasa yang dipakainya secara permanen, karena adanya perubahan status sosial dan relasi kepribadian yang ada.
2.2.5 Fungsi Campur Kode
Berikut ini akan disebutkan fungsi pemakian campur kode dalam suatu bahasa:
1. Sebagai Perulangan.
Sering kali sebuah pesan dalam suatu bahasa (kode) diulangi dengan kode lain, baik secara literal atau dengan sedikit perubahan. Perulangan berfungsi untuk memberikan penekanan pada sebuah pesan atau menjelaskan apa yang telah dikatakan.
2. Sebagai Interjeksi.
Campur kode dapat berfungsi sebagai intirjeksi atau pengisi kalimat yang biasa berbentuk kata atau prase atau ungkapan.
3. Sebagai Kutipan
Dalam banyak hal, campur kode dapat diidentifikasikan baik sebagai kutifan langsung maupun sebagai laporan seorang penutur bilingual, dalam sela-sela pembicaraanya kadang-kadang menggunakan kode (bahasa) lain yang telah dinyatakan oleh seseorang.
4. Sebagai Fungsi Spesifikasi Lawan Tutur
Penutur bermaksud menyampaikan pesan dengan kode lain kepada salah satu dari beberapa kemungkinan lawan tutur yang mengerti bahasa penutur.
5. Unsur Mengkualifikasikan Isi Pesan.
Bentuk lain dari campur kode adalah pengelompokan isi-isi pesan dalam bentuk kalimat, kata kerja, kata pelengkap atau predikat dalam konstruksi bahasa lain, Gumpers 1982 (dalam Anwar, 1983:71).
2.2.6 Faktor Penyebab Campur Kode
Campur kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosiosituasional. Menurut suwito (1983:72), beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya campur kode antara lain :
1. Penutur
Seorang bawahan menghadap atasannya di kantor dalam situasi resmi. Pada awalnya mereka menggunakan bahasa Indonesia. Namun, karena atas kesadarannya sendiri, si bawahan ingin mengubah situasi resmi menjadi tidak resmi dengan mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerahnya. Dengan situasi tidak resmi tersebut, diharapkan masalah-masalah yang sedang dibicarakan akan lebih mudah dipecahkan.
2. Lawan Tutur
Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya, dalam hal ini multilingual. Hal ini dapaat memicu komunikasi antara penutur dengan lawan tutur terjadi lebih komunikatif. Dari sini terbentuk apa yang disebut dengan perstiwa campur kode.
3. Karena Bahasa
Perestiwa campur kode dapat terjadi juga karena sebab seorang mungkin saja tidak dapat menguasai seluruh bahasa yang dimilikinya sehingga pada saat tertentu dia akan mencapur kode kebahasaan lain.
Selain faktor-faktor yang dikemukan di atas, perstiwa campur kode juga terjadi berdasarkan faktor situasi dan kebiasaan. Hal ini dikemukan oleh Nababan (1991:32) yang mengatakan bahwa bilamana seorang mencampur dua kode (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutr dan atau kebiasaannya yang dituruti.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sample
3.1.1 Populasi
Dalam hubungan dengan penelitian bahasa, populasi terkait dengan dua hal, yaitu masalah satuan penutur dan masalah satuan wilayah tritorial, Mahsun (2007:28).
Populasi yang berkaitan dengan masalah satuan penutur yakni seluruh penutur asli bahasa campur kode Karang Bima desa Bonto Kecamatan Tarano. Sedangkan yang terkait dengan masalah satuan wilayah tritorialnya adalah karang Bima desa Bonto kecamatan Tarano.
3.1.2 Sample
Pemilihan sebagain dari keseluruhan penutur atau wilayah pakai bahasa yang menjadi objek penelitian sebagai wakil yang memungkinkan untuk membuat genaralisasi terhadap populasi itulah yang disebut sample penelitan. Dan dijelaskan lagi oleh Mahsun (2007:30) sempel merupakan penutur atau orang yang ditentukan diwilayah pakai varian bahasa tertentu sebagai sumber bahan penelitian, pemberi informasi, dan pembantu peneliti tahap penyediaan data disebut informan. Dalam penelitian ini, yang menjadi sampelnya adalah informan-informan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. penutur asli bahasa campru kode yang dilahirkan dan dibesarkan di desa itu, serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desa itu;
2. bersetatus sosial rendah-menengah dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya;
3. berusia berkisar antara 16-60 tahun;
4. sehat jasmani dan rohani;
5. dapat berbahasa Indonesia; dan
6. berpendidikan maksimal SD-SLTP.
Seperti yang dijelaskan di atas, maka jumlah informan dalam penelitian Campur Kode dalam Pemakain Bahasa Sumbawa Masyarakat Karang Bima Kecamatan Tarano sebanyak 10 orang.

3.2 Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data kebahasaan dalam penelitain ini, peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data sebagaimana yang diterapkan dalam penelitian linguisitik, yaitu sebagai berikut;
3.2.1 Metode Cakap (wawancara)
Metode cakap adalah metode yang digunakan untuk memperoleh informasi dengan percakapan antara peneliti dengan inforaman. Dengan teknik dasar pancingan. Teknik pencingan biasanya mucul dalam dalam makna-makna yang tersusun dalam daftar pertanyaan atau secara sponitas, maksudnya pencingan dapat muncul ditangah-tengah percakapan (Mahsun, 2007: 96). Artinya, peneliti berusaha memancing informan dengan memakai tema-tema tertentu dalam pembeciraan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dapat dipahami oleh penutur untuk memunculkan data kebahasaan berupa campur kode yang dipakai oleh masyarakat karang Bima.
3.2.2 Metode Simak
Metode simak adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa. Dinamakan metode simak karena cara yang digunkan untuk memperoleh data yaitu dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:29). Metode ini digunakan untuk mendapatkan data lisan, yaitu data berupa campur kode pemakain bahasa Sumbawa dengan bahasa Bima di karang Bima desa Bonto kecamatan Tarano.
Metode ini memiliki teknik dasar yaitu teknik sadap. Teknik dasar disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada dasarnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan (Mahsun, 2007:92). Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dengan metode ini, peneliti menggunakan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, catat dan rekam (Mahsun, 2007:243).
Dari teknik di atas, peneliti terlibat lansung dalam perestiwa campur kode tersebut. dalam hal ini, peneliti menyatu partisipan yang khendak disimak perilaku tuturnya sehingga data yang didapat benar-benar sesuai dengan yang dinginkan.
3.3 Metode Analisi Data
Data yang terkumpul dari lapangan selanjut dianalisis dengan menggunakan metode padan intralingual dan teknik hubung banding menyamakan dan metode banding membedakan dan metode padan ekstralingual.
3.3.1 Metode Padan Intralingual
Istilah kata padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata banding, di sini konteks ini kata padan diartikan sebagai hal menghubung bandingkan, sedangkan kata intralingul dapat dimaknai sebagai unsur-unsur yang berada dalam unsur bahasa (bersifat lingual). (Mahsun, 2007: 118) mengartikan metode padan intralingual adalah metode analisis data dengan cara menghubung banding unsur-unsru yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda. Dalam metode analisi digunakan teknik hubung banding menyatakan hubung-banding antara bahasa Sumbawa dan bahasa Bima.
3.3.2 Metode Pada Ekstralingual
Metode pada ekstralingual adalah metode analisis data dengan cara menghubung-banding masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (Mahsun, 2001: 120). Dalam metode ini juga digunakan teknik hubung-banding menyamakan dan hubung-banding membedakan. Teknik ini digunakan untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode bahasa Bima ke dalam bahasa Sumbawa.
Dari kedua metode analisis data di atas, data dalam penelitian ini diolah menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu fokusnya pada penunujukan makna, deskripsi, penjelasan dan penempatan data konteksnya masing-masing dan sering kali melukisnya dalam bentuk kata-kata dari pada angka-angka (Mahsun 2007: 257).
3.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data dalam penelitian ini dengan cara formal dan informal. Mahsun (2007: 123) menjelaskan cara formal dan informal. (1) metode penyajian secara formal metode perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk terminologi yang bersifat teknis, (2) metode penyajian secara informal merupakan perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang. Beberapa tanda atau lambanag yang digunakan antara lain sebagai berikut:
(1) Tanda garis bawah ( ) digunakan untuk menunjukan campur kode.
(2) Tanda kurung siku ( [] ) digunakan untuk menunjukan menjelaskan fonem atau bunyi kode.
(3) Tanda petik satu ('') untuk menjelaskan makna kode.




DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Fadli Muahamad. 2009. Campur Kode Bahasa Arab dalam Pemakain Bahasa Indonesia Aktivitas Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Majelis Taklim Al-Kahfi FKIP Unram.Skripsi-FKIP: Universitas Mataram.
Al Idrus, Hadijah. 2009. Campur Kode dalam Pemakain Bahasa Indonesia di Lingkungan Telaga Masa Ampenan Utara. Skripsi- FKIP: Universitas Mataram.
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Anwa,r, Kasyful. 2006. Campur kode pemakain bahasa Indonesia pada pengajian tuan guru bajang. Skripsi-FKIP: Universitas Mataram.
Aslinda dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolingiustik. Bandung : PT Refika Aditama.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul., dkk. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Cahaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010, Sosiolinguistik ”perkenalan awal”. Jakarta: Rineka Cipta.
Fishman, J.A. 1977. Sosiolinguistik Suatu Pengantar Ringkasan. Terjemahan. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguis ”suatu pengantar”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Putrayasa, I.B. 2007. Analisis Kalimat. Bandung: Refika Aditama.
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Suwito. 1983. Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Skripsi-Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
Verhaar, JMW. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar